Mengapa Perubahan Kontrak Satuan Maksimal 10%?
Ketika terjadi kesalahan DED, perubahan kondisi lapangan, perubahan kebutuhan yang menyebabkan ruang lingkup pekerjaan berubah, maka kebutuhan untuk pekerjaan tambah bisa jadi lebih dari 10%, namun demikian aturan tambah/kurang untuk kontrak satuan pada peraturan pengadaan barang/jasa pemerintah dibatasi maksimal 10%.
Dari literarur yang saya dapatkan dari AAPM US, asalnya angka 10% tambah/kurang berasal dari deviation cost suatu proyek yang lazimnya adalah 10%. Nilai itu didapat dari pengalaman bahwa kebutuhan tambah/kurang pekerjaan konstruksi tidak akan lebih dari 10%. Nilai 10% ini kemudian menjadi standar dan menjadi aturan dalam pengadaan barang/jasa pemerintah. Aturan ini mengasumsikan bahwa tidak mungkin ada kebutuhan tambah/kurang lebih dari 10%, khususnya ketika ruang lingkupnya tidak berubah.
Namun demikian, bagaimana jika ada perubahan kondisi lapangan atau kebutuhan sehingga ada perubahan ruang lingkup atau lebih tepatnya penambahan ruang lingkup yang menuntut tambahan pekerjaan lebih dari 10%. Berdasarkan pengalaman saya berdiskusi dengan banyak ahli, ada dua pendapat sebagian membolehkan pekerjaan tambah walaupun diatas 10% dengan justifikasi atau alasan teknis kenapa harus ada penambahan diatas 10%. Sebagian lagi tetap melarang penambahan diatas 10% karena itu penambahan lingkup perkerjaan tersebut tidak masuk dalam addendum namun dianggap perkerjaan baru sehingga penambahan dilakukan dengan penunjukan langsung sebagai item baru. Terlepas dari perbedaan cara, namun pada prinsip kedua pendapat membolehkan ada penambahan lebih dari 10% ketika terjadi perubahan atau penambahan ruang lingkup yang tidak bisa dihindari.
Dalam pendekatan ilmu keteknikan, perubahan-perubahan tersebut diatas adalah biasa, sehingga sebenarnya, skenario teknik apapun boleh dilakukan sejauh memang dibutuhkan. Namun ketika ditinjau dari sudut audit atau hukum, maka situasinya berbeda. Karena sifat hukum dan audit berbeda dengan teknis. Dimana audit dan hukum sangat kaku dan penuh kepastian, sedangkan teknis sangat fleksibel dan penuh ketidakpastian. Ketika konsep ini bercampur, maka akan ada yang dikorbankan. Pertanyaan berikutnya adalah apakah perubahan kontrak lebih cocok dianggap teknis biasa atau harus dianggap sebagai aturan/hukum? Jawabannya adalah ketika diatur dalam suatu peraturan maka pekerjaan tambah/kurang ini akan jadi aturan/hukum. Jika pekerjaan tambah/kurang tersebut akan dianggap sebagai aspek teknis biasa, mestinya dibuat fleksibel yang artinya tidak dibatasi. Di beberapa BUMN pekerjaan tambah/kurang bersifat fleksibel dan tidak dibatasi 10%.
Secara konseptual ketentuan perubahan kontrak maksimal hanya cocok untuk konstruksi, namun untuk barang, apalagi yang sifat kebutuhannya tidak bisa dipastikan, maka pembatasan 10% tambah kurang sebentar tidak relevan. Karena bisa saja kebutuhan melonjak drastis, atau kalau di industri bisa saja produknya laku sehingga kebutuhan bahan material meningkat tajam dan angka 10% tambah kurang menjadi tidak lagi sejalan.
Itulah kelemahan aturan, karena aturan selalu tidak pernah mewakili semua kondisi dan potensi kondisi yang mungkin terjadi. Dalam kaitannya dengan pengadaan, aturan pengadaan ditujukan agar proses pengadaan dapat diarahkan atau dipaksa untuk efektif dan efisien serta menutup potensi kebocoran atau bahkan korupsi. Namun demikian aturan mestinya dapat ditafsirkan secara fleksibel sesuai dengan kondisi. Yang tidak bisa ditawar semestinya adalah tercapainya efektivitas dan efisiensi serta tidak adanya kebocoran anggaran yang tidak perlu. Karena itu, untuk meningkatkan kualitas pengadaan mestinya aturannya dibuat sederhana dan pelakunya dibuat ahli, ahli dalam pengertian yang sebenarnya, yaitu ahli mendesain dan mengeksekusi pengadaan dengan efektif, efisien dan bebas kebocoran.
Saat ini kita perlu meminimalkan prosedur, namun memaksimalkan strategi.