Penambahan Keuntungan HPS, Benarkah 10%?
Penambahan keuntungan dalam perhitungan HPS harus dipahami konsepnya dan tidak cukup dihapalkan aturannya. Contoh penambahan keuntungan untuk konstruksi 10% dalam penyusunan HPS didasarkan pada asumsi bahwa HPS konstruksi hanya menghitung material, alat, honor ahli, honor tukang dan harga satuan lainnya. Jadi prediksi itu hanya prediksi biaya kotor yg dibutuhkan untuk mengerjakan pekerjaan konstruksi. Bagaimana dengan kontraktornya? Tidak dialokasikan, karena itu perlu justifikasi keuntungan untuk kontraktornya dan aturan memberikan gambaran 10% dari modal (baca HPS).
Bagaimana untuk barang, jasa lainnya dan jasa konsultansi? Pada prinsip konsepnya sama jika penyedianya belum mengalokasikan keuntungan, maka keuntungan itu harus ditambahkan supaya HPSnya atraktif dan menarik penyedia. Khusus untuk barang dimana pedagang memberikan informasi harga plus keuntungan, maka dalam HPS tidak perlu keuntungan lagi.
Berbeda dengan pekerjaan non barang yang harus diprediksi biayanya oleh owner, maka barang sudah punya harga yg terbentuk melalui mekanisme supply and demand, tentu saja harga yg terbentuk sudah menghitung keuntungan. Dengan demikian jelas untuk barang tidak perlu menambahkan keuntungan dan non barang boleh menambahkan keuntungan.
Apakah benar nilai keuntungan wajar 10%? Jawabannya relatif. Secara konsep aturan terlalu menyederhanakan, karena tentu saja keuntungan wajar harus memperhitungkan waktu dan kompleksitas pekerjaan. Tidak mungkin pekerjaan seminggu untungnya 10%, sama dengan pekerjaan 3 tahun yang untungnya juga 10%.
Kenyataannya keuntungan itu harus ditentukan berdasarkan tingkat keuntungan persatuan waktu. Disisi lain, keuntungan juga memiliki definisi, keuntungan bersih atau keuntungan kotor?
Berdasarkan diskusi saya dengan salah satu komisaris BUMN rata rata keuntungan bersih jauh dibawah 10% walaupun keuntungan kotornya juga jauh diatas 10%. Jadi angka 10% bukan angka keramat yang sebenarnya sangat relatif. Aturan menentukan angka 10% hanya bentuk penyederhanaan saja, sama seperti pengadaan langsung sd 200 juta dilakukan dengan pengadaan langsung walaupun secara konsep tidak selalu tepat, karena variasi harga dan variasi anggaran tiap daerah berbeda, namun tetap dipilih untuk menyederhanakan peraturan.
Disisi lain, aturan pengadaan yang menjustifikasi metode atau bahkan membatasi metode didasarkan pada asumsi, pelaku pengadaan kita belum profesional dan belum bisa ‘dipercaya’ sehingga aturan harus mengatur dengan detail. Ketika asumsinya pelaku pengadaan kita professional dan berintegritas, maka mungkin tidak perlu ‘pengaturan’ rinci, cukup arahan kebijakan, sisanya biarkan pelaku pengadaan menjustifikasi metode yang tepat untuk pengadaannya. Pertanyaan adalah sudah siapkan kita menjustifikasi semua metode pengadaan terbaik untuk paket kita? Kalau belum siap, maka aturan akan mengatur dengan rinci dan akibatnya pelaku pengadaan rentan dengan kesalahan karena yang diperiksa dan yang memeriksa sama sama tidak tahu esensi pengaturan pengadaan, sehingga kesalahan atau kebenaran hanya sebatas asumsi masing masing pikiran.