Asas Kepastian Hukum vs Keadilan Dalam Sengketa Kontrak PBJ
Ketika saya menyelesaikan buku Kebebasan Berkontrak dan Pacta Sunt Servanda vs Itikad Baik, karangan Ridwan Khairandy, pikiran saya langsung tertuju pada suatu sidang arbitrase tahun lalu. Dimana saya diminta menjadi pemberi keterangan ahli oleh satu perusahaan subkon menghadapi dua saksi ahli, seorang guru besar hukum PTN ternama dan ahli senior PBJ, yang diminta menjadi pemberi keterangan ahli mainkon BUMN besar tanah air.
Dengan penuh keyakinan saya memegang prinsip keadilan dibandingkan prinsip pacta sunt servanda (kontrak adalah UU bagi para pihak/pendekatan kepastian hukum). Saya berpendapat bahwa tafsir jenis kontrak, ruang lingkup pekerjaan dan semua klausul didalam kontrak harus di dalam koridor keadilan. Sehingga yang bertentangan dengan keadilan dapat dikesampingkan.
Pendapat saya itu tentu saja berbeda dengan arus utama ahli PBJ dan ahli hukum kontrak yang sangat mengagungkan asas kebebasan berkontrak, asas kepastian hukum dan asas kontrak adalah UU untuk para pihak, sehingga apapun kondisi yang terjadi menjadi tangguhan penuh para pihak. Termasuk kondisi yang merugikan salah satu pihak dengan kerugian yg besar jika disepakati sejak awal, maka menjadi resiko pada pihak. Saya menganggap kaidah itu bertentangan dengan prinsip utama pengadaan dan prinsip utama kontrak, yaitu keadilan dan kepatutan, termasuk melanggar moralitas PBJ. Disisi lain saya berpendapat, bahwa asas kebebasan berkontak dalam banyak kondisi tidak bisa dijalankan dengan sempurna karena perbedaan kekuatan dan kepentingan antara para pihak, termasuk banyak kondisi luar biasa terjadi yang berbeda dengan skenario awal ketika kontrak ditandatangani yang membuat keadaan para pihak tidak dalam kondisi keseimbangan yg penuh. Karena itu, maka asas utama yang harus ditegakkan adalah keadilan (dalam buku ini disebutkan sebagai bagian dari asas itikad baik).
Masalah utama dari perkara kontrak itu adalah, dalam pelaksaan kontrak kedua belah pihak berbeda pendapat mengenai ruang lingkup pekerjaan. Pihak mainkon berpendapat bahwa dalam kontrak lumpsum lingkup pengadaan sesuai dengan output kebutuhan. Sedangkan subkon merasa telah mengerjakan melebihi apa yang mereka sampaikan dalam penawaran. Masalahnya adalah subkon mengerjakan pekejaan tersebut walaupun merasa melebihi volume yang sebenarnya, walaupun ternyata tanpa addendum. Dalam perjalanannya subkon tidak mampu memenuhi permintaan mainkon dan akhirnya kontrak diputuskan sepihak. Subkon mengalami kerugian besar hingga akhirnya bangkrut karena masalah tersebut, mengingat nilai pekerjaannya ratusan milyar.
Saya sendiri berpendapat, walaupun kontrak lumpsum berbasis output, tapi kalau ternyata output yang ditetapkan dalam kontrak ternyata berbeda jauh dengan pelaksaan kontrak, maka kondisi itu tidak adil. Saya sampaikan pada majelis silakan dihitung harga pasar yang ada dengan apa yang sudah dikerjakan bagaimana perbandingannya. Ternyata apa yang sudah dilaksanakan atau dihasilkan memang melampaui nilai kontraknya. Artinya berdasarkan asas keadilan, situasi ini jelas tidak adil. Walaupun lingkupnya sama namun volumenya telah naik dengan jumlah yang fantastis, menurut saya ini bisa disebabkan oleh kekeliruan didalam perencanaan awal yg dilakukan oleh mainkon, namun dengan sistem kontrak lumpsum maka kekeliruan itu ditanggung sendiri oleh subkon. Ada situasi yang tidak ideal dalam penentuan ruang lingkup, sehingga deviasi antara perencanaan dan pelaksaan menjadi sangat besar dan deviasi volume menjadi di luar kewajaran secara teknis, sehingga berdampak pada kerugian subkon. Walaupun addendumnya tidak memadai dan dalam pelaksanaannya subkon tetap melaksanakan pekerjaan tersebut, saya berpendapat subkon terap berhak atas penambahan pembayaran untuk tambahan volume pekerjaan, walaupun tidak dijelaskan dalam addendum kontrak. Saran saya, mainkon harus membayar kelebihan volume yang dikerjakan subkon dikurangi denda jika ada wanprestasi.
Saya memilih mengedepankan rasa keadilan dalam berkontrak dibandingkan administrasi kontrak seperti addendum atau konsensus dalam kontrak. Termasuk mungkin ‘menabrak’ kaidah kontrak lumpsum. Tapi bagi saya kemanusian lebih penting dibandingkan dengan formalitas kontrak yang bersifat redaksional.
Saya terkejut ketika membaca buku ini, ternyata apa yang saya lakukan gagasannya sama dengan penulis buku. Dan inilah kaidah yang disarankan oleh penulis buku supaya hakim menjadi corong keadilan, bukan sekedar pembaca pasal-pasal kontrak atau hakim menjadi penegak keadilan alih alih menjadi penegak pasal-pasal kontrak. Menurut penulis buku, asas kebebasan kontrak hanyalah utopia karena pada kenyataannya para pihak tidak benar benar bebas dalam berkontrak. Terlebih dalam kontrak PBJ pemerintah, dimana penyedia tunduk dengan ketentuan yang berlaku yang dalam banyak hal yg belum mencerminkan asas proporsionalitas dan keadilan. Maka persidangan mestinya menjadi koreksinya supaya keadilan dapat ditegakkan, bukan kepanjangan aturan atau kebijakan yang memiliki banyak kelemahan dan belum mencerminkan keadilan.
Situasi seperti ini lima tahun lalu juga pernah terjadi, saya lebih mempertimbangkan dampak sosial dan ekonomi dibandingkan dengan formalitas pasal-pasal kontrak. Alhamdulillah dari kedua situasi itu, pendapat saya dipilih oleh pemilik keputusan. Rasanya haru dan bahagia karena profesi saya tidak semata karena honor atau uang, tetapi pertimbangan kemaslahatan yang lebih luas. Walaupun yang pertama honor saya hanya dibayar 30% dari standar dan lainnya malah tidak dibayar. Tapi saya merasa bahagia karena pekerjaan bukan semata masalah uang, tetapi bagaimana kita bisa berkontribusi pada kehidupan yang lebih baik, dengan nurani dan hati. Saya juga bangga karena PBJ bukan hanya berisi pasal-pasal tapi ada manusia yang terlibat disana yang butuh perlakuan yang memanusiakan. Hukum yang tidak memanusiakan manusia adalah hukum rimba yang pelakunya sungguh hina.