PPK di Simpang Jalan, Antara Pendekatan Keuangan Negara Dan Manajemen Proyek

Kisruh siapa yang akan menjadi PPK pada pengadaan barang/jasa yang menggunakan APBD lama bergulir. Walaupun telah banyak ketentuan yang mengaturnya dan semakin jelas duduk perkaranya, namun dalam pendekatan konseptual, kebijakan tersebut tidak akan menyelesaikan permasalahan klasik dalam pengelolaan proyek didaerah. Perkara PPK yang dijabat oleh PA/KPA atau menetepkan PPK diluar keduanya, sudah jelas. Namun meningkatkan kinerja penyerapan anggaran dan efektifitas pengadaan barang/jasa, sepertinya masih harus melewati jalan panjang dan terjal.

Penentuan organisasi pengadaan semestinya didasarkan pada kharakteristik organisasi dan profil pengadaannya, sehingga tidak mungkin dipukul rata atau di generalisasi. Kebijakan yang mengatur PPK dapat langsung dijabat oleh PA/KPA adalah kebijakan dengan pendekatan keuangan negara, dimana keduanya memiliki kewenangan “genuine” untuk melakukan tindakan yang menyebabkan pengeluaran keuangan negara. Pada posisi ini, PA/KPA bertindak langsung sebagai PPK tidak menjadi masalah. Namun dalam pendekatan manajemen proyek, khususnya PPK konstruksi atau pekerjaan non konstruksi yang bersifat teknologi tinggi dengan spesifikasi rumit dan tuntutan pengendalian kontrak, maka kebijakan tersebut tidak tepat. Terlebih lagi, dilihat dari aspek “check and balances”, maka kewenangan PA/KPA menjadi sangat luas dan potensi konflik kepentingan menjadi lebih besar.

Mekanisme pengadaan semestinya diatur sesuai dengan kharakteristik organisasi. Dalam pendekatan pengelolaan pengadaan, organisasi pengadaan dapat dibedakan menjadi: 1) organisasi project-base, 2) organisasi semi-project dan 3) organisasi non-project-base. Organisasi project adalah organisasi yang pengadaannya berbasis proyek, seperti dinas PU atau yang  sejenisnya, maka pengaturan PPK semestinya dilakukan dengan pendekatan manajemen proyek, dimana organisasi pengadaan dibuat seperti organisasi proyek dengan PPK sebagai pimpinannya. PPK pada organisasi project-base harus fulltime dan memiliki kompetensi, baik pengalaman maupun keahlian. Sedangkan untuk organisasi non-project-base, PPK hanya melakukan pengadaan rutin dengan nilai yang kecil, maka PPK dapat dijabat oleh PA/KPA karena tidak membutuhkan waktu yang banyak dan prosesnya dapat dilakukan dengan sederhana. Sedangkan organisasi yang semi-project dimana ada proyeknya dan ada pengadaan rutinnya, maka PPK untuk proyek dijabat oleh PPK profesional dan non-proyek oleh PA/KPA.

Generalisasi persyaratan PPK yang harus profesional atau dimudahkan dengan dirangkap oleh PA/KPA tanpa memperhatikan kharakter organisasi, adalah kekeliruan. Generalisasi peraturan terlihat menyederhanakan proses pengadaan, tapi pada saat yang sama mempersulit pertanggung-jawabannya. Nampaknya perlu untuk mengembalikan pengaturan tunggal pengadaan kepada LKPP, pengaturan pengadaan yang dilakukan multisektor berpotensi terjadi penyimpangan norma, benturan prosedur, membingungkan dan hanya menunjukan ego sektoral yang semakin parah. Perlu roadmap kebijakan pengadaan yang jelas dan terkendali, sehingga tidak setiap waktu kita disuguhkan perubahan peraturan yang hanya menghasilkan gegap gempita sosialisasi, tapi nasib pengadaan tetap terpuruk di sudut ruang.